Kamis, 27 November 2014

Sebut saja mbak kopi



Wajah sejarah pernah di susun di kedai kopi, dan jatuh cinta yang paling puitis, barangkali, terjadi di kedai kopi. Yang kedua, setidaknya, berlaku dalam hidup gue.
Sepotong bibir perempuan dengan ketebalan teliti itu berulangkali menempel pada cangkir kopi, dan hari itu percakapan terlalu menarik untuk tidak diingat sampai bertahun-tahun setelahnya.Sebut saja nama perempuan berbibir bagus itu Mbak Kopi –sebab Mawar selalu berhasil mengingatkan kita pada peristiwa buruk.
Mbak Kopi pernah membuat gue mencintainya dan kopi. Dalam beberapa bulan, kami menghabiskan kemesraan dengan berpuluh cangkir kopi –kami tidak menghabiskannya sehari, sebab tidak dalam upaya menyusun revolusi. Dengan kopi, kami bisa merayakan setiap pertemuan dengan mata dan pikiran terjaga.
Tapi, sekarang, Mbak Kopi pergi berpetualang dari satu cangkir ke cangkir kopi, dari satu bibir ke bibir lelaki. Dan gue tetap mengingatnya lewat, ehem, bercangkir-cangkir kopi.
Menikmati kopi, adalah cara terbaik mengingat Mbak Kopi. Terkadang, gue bisa merasakan lengket bibirnya di bibir cangkir (lebay, sih). Tapi yang jelas, setelah dia pergi, gue lebih memilih kopi hitam pahit, karena gue berharap, yang manis tetap milik senyumnya (ecie).
Perempuan itu sudah lama pergi. Perempuan yang kita sepakati di awal sebagai Mbak Kopi –bukan Mawar, sebab kehilangan orang yang kita cintai bukanlah peristiwa yang buruk untuk diingat.

Samarinda,27 September 2012

Yuk, mari ngopi!
Akun twitter: @AzizPart2